Kamis, 09 Juni 2011

WASPADA BULLYING / MALAK PADA ANAK USIA DIN


WASPADA BULLYING / MALAK PADA ANAK USIA DINI

Apa sih pengertian bullying? Akhir-akhir ini sering terdengar istilah bullying. Sebenarnya bullying sudah terjadi sejak dahulu kala. Salah satu jenis bullying yang kasat mata adalah ‘malak’. Bullying adalah suatu tekanan atau intimidasi dari satu atau serombongan anak/remaja yang dominan terhadap satu atau serombongan anak/remaja yang lebih lemah.
Mapras Identik dengan 
Yang paling mudah untuk kita saksikan adalah kejadian dalam acara mapras/ penerimaan murid baru. Para kakak kelas biasanya berlomba galak dan keras terhadap adik-adik kelasnya. Dengan dalih ingin melatih mental dan ketahan diri para adik kelas, kakak-kakak kelas acapkali membentak dan memerintah para juniornya untuk melakukan hal yang aneh-aneh. Anak-anak yang lebih muda dan merupakan adik-adik kelas ini terpaksa menjadi patuh dan takut pada para seniornya jika ingin selamat serta diterima dilingkungan sekolah.
Bullying ada dimana-mana
Kebiasaan mapras atau plonco ini seringkali terbawa hingga ke jenjang usia dewasa. Pengertian bullying tidak berhenti pada konteks dunia sekolah saja, dapat pula terbawa ke dalam budaya kantor/ perusahaan dan bahkan barangkali juga dalam bidang pemerintahan.
Banyak orang muda dan junior yang dianggap masih ‘ijo’ dan tidak tahu apa-apa. Para senior selalu menganggap dirinya lebih berumur, berpengalaman dan juga lebih banyak makan asam garam dibanding mereka yang lebih muda usia.
Karakter Orang Muda
Keadaan semacam ini sesungguhnya sangat merugikan bagi perkembangan karakter manusia dan menghalangi bertumbuhnya rasa percaya diri kalangan orang muda. Stigma yang menyamakan manusia dengan kelapa, seakan – akan semakin tua semakin bersantan tampaknya perlu dikaji ulang.
Secara logika manusia yang bertumbuh tinggi besar dan menua dari segi fisik. Belum tentu diimbangi dengan pertumbuhan karakter dan kecerdasan yang seimbang. Banyak orang tua yang masih kolot, merasa dirinya paling tahu, paling pintar dan acapkali memaksakan kehendak. Namun tak sedikit pula orang-orang muda yang sabar, bijak, kreatif dan pandai menempatkan diri.
Disini pengertian bullying makin meluas, tidak hanya sebatas dalam makna harafiah saja namun juga mencakup dampaknya bagi masa depan generasi muda. Khususnya anak- anak dan remaja. Menanamkan rasa percaya diri, spontanitas dan keterbukaan sejak dini adalah modal utama untuk membasmi perilaku bullying. 
Jika sejak dini anak – anak dan remaja telah memiliki ketahanan mental dan landasan kuat untuk pengembangan karakter, diharapkan pada masa dewasa mereka akan sungguh-sungguh menjadi orang yang bijak dan bukan sekedar mengaku bijak karena dimakan usia.
Waspada Bullying Sejak Anak Usia Dini
Bullying perlu diwaspadai sejak dini khususnya oleh para orang tua. Mereka sebaiknya memperhatikan perkembangan jiwa anak-anaknya dengan sungguh-sungguh. Perilaku yang kasar, suka memaksa, berteriak, mengancam dan meremehkan orang lain dapat menjurus untuk menjadi pelaku bullying.
Lambat laun anak-anak dengan karakter semacam itu akan mencoba mengintimidasi anak-anak lain khususnya mereka yang lebih muda atau lebih lemah. Perilaku yang terlalu sensitif, penakut, rentan, mudah tertekan dan pendiam juga merupakan sasaran empuk untuk menjadi korban bullying.
Tidak mudah memang untuk meletakkan landasan yang tepat bagi anak-anak dan remaja agar mereka dapat menumbuhkan karakter terbaik yang dapat muncul dari dalam diri mereka. Namun yang pasti hendaknya sejak dini para orang tua mengarahkan anak-anaknya untuk berlaku sopan, menahan diri, mengemukakan pendapat secara terbuka dan mampu memberikan alasan yang masuk diakal.
Jika logika atau nalar anak-anak mengenai hal yang baik dan buruk sudah berjalan dengan sempurna sejak awal, mudah-mudahan mereka akan terlepas dari cengkraman bullying baik sebagai pelaku maupun korban.

KEBUDAYAAN NASIONAL YANG BERLANDASKAN PANCASILA


KEBUDAYAAN NASIONAL YANG BERLANDASKAN PANCASILA
Edris Ginting
Abstrak
Pokok yang menurut hemat penulis? Perlu menjadi titik-tolak utama dalam membentuk kebudayaan nasional, yaitu: (1) identitas nasional dan (2) kesadaran nasional. Dalam kaitan ini, Bhineka Tunggal Ika adalah suatu manifesto kultural (pernyataan das Sollen) dan sekaligus merupakan?suatu titik-tolak strategi budaya untuk pemersatu bangsa.
Kata kunci: Kebudayaan nasional
Pendahuluan
Budaya secara harfiah berasal dari Bahasa Latin yaitu Colere yang memiliki arti mengerjakan tanah, mengolah, memelihara ladang (menurut Soerjanto Poespowardojo 1993). Selain itu Budaya atau kebudayaan berasal daribahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Adapun menurut istilah Kebudayaan merupakan suatu yang agung dan mahal, tentu saja karena ia tercipta dari hasil rasa, karya, karsa,dan cipta manusia yang kesemuanya merupakan sifat yang hanya ada pada manusia.Tak ada mahluk lain yang memiliki anugrah itu sehingga ia merupakan sesuatuyang agung dan mahal
Menurut Koentjaraningrat budaya adalah keseluruhan sistem gagasan tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan miliki diri manusia dengan cara belajar.
Kebudayaan nasional adalah kebudayaan yang diakui sebagai identitas nasional. Definisi kebudayaan nasional menurut TAP MPR No.II tahun 1998, yakni:
Kebudayaan nasional yang berlandaskan Pancasila adalah perwujudan cipta, karya dan karsa bangsa Indonesia dan merupakan keseluruhan daya upaya manusia Indonesia untuk mengembangkan harkat dan martabat sebagai bangsa, serta diarahkan untuk memberikan wawasan dan makna pada pembangunan nasional dalam segenap bidang kehidupan bangsa. Dengan demikian Pembangunan Nasional merupakan pembangunan yang berbudaya.Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Wujud, Arti dan Puncak-Puncak Kebudayaan Lama dan Asli bai Masyarakat Pendukukungnya, Semarang: P&K, 199
kebudayaan nasional dalam pandangan Ki Hajar Dewantara adalah “puncak-puncak dari kebudayaan daerah”. Kutipan pernyataan ini merujuk pada paham kesatuan makin dimantapkan, sehingga ketunggalikaan makin lebih dirasakan daripada kebhinekaan. Wujudnya berupa negara kesatuan, ekonomi nasional, hukum nasional, serta bahasa nasional. Definisi yang diberikan oleh Koentjaraningrat dapat dilihat dari peryataannya: “yang khas dan bermutu dari suku bangsa mana pun asalnya, asal bisa mengidentifikasikan diri dan menimbulkan rasa bangga, itulah kebudayaan nasional”. Pernyataan ini merujuk pada puncak-puncak kebudayaan daerah dan kebudayaan suku bangsa yang bisa menimbulkan rasa bangga bagi orang Indonesia jika ditampilkan untuk mewakili identitas bersama.Nunus Supriadi, “Kebudayaan Daerah dan Kebudayaan Nasional”
Pernyataan yang tertera pada GBHN tersebut merupakan penjabaran dari UUD 1945 Pasal 32. Dewasa ini tokoh-tokoh kebudayaan Indonesia sedang mempersoalkan eksistensi kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional terkait dihapuskannya tiga kalimat penjelasan pada pasal 32 dan munculnya ayat yang baru. Mereka mempersoalkan adanya kemungkinan perpecahan oleh kebudayaan daerah jika batasan mengenai kebudayaan nasional tidak dijelaskan secara gamblang.
Sebelum di amandemen, UUD 1945 menggunakan dua istilah untuk mengidentifikasi kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional. Kebudayaan bangsa, ialah kebudayaan-kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagi puncak-puncak di daerah-daerah di seluruh Indonesia, sedangkan kebudayaan nasional sendiri dipahami sebagai kebudayaan angsa yang sudah berada pada posisi yang memiliki makna bagi seluruh bangsa Indonesia. Dalam kebudayaan nasional terdapat unsur pemersatu dari Banga Indonesia yang sudah sadar dan menglami persebaran secara nasional. Di dalamnya terdapat unsur kebudayaan bangsa dan unsur kebudayaan asing, serta unsur kreasi baru atau hasil invensi nasional.[1]

Dalam kaitan dengan kebudayaan nasional, Ki Hadjar menuturkan bahwa kebudayaan nasional terbentuk dari puncak-puncak dan sari-sari kebudayaan yang terdapat di seluruh wilayah Indonesia, baik kebudayaan lama maupun baru. Perkembangan kebudayaan nasional, menurutnya, harus melalui jalan yang disebutnya tri-kon, yaitu memiliki kontinuitas dengan kebudayaan yang telah silam, menjalankan konvergensi dengan jalannya kebudayaan-kebudayaan lain, dan akhirnya bersifat konsentris dalam persatuan dengan kebudayaan dunia walaupun tetap mempertahankan kepribadian sendiri. Di dalam artikelnya yang berjudul Menudju Masjarakat dan Kebudajaan Baru Indonesia ”Prae-Indonesia, Sutan Takdir menolak gagasan tentang kebudayaan Indonesia yang merupakan kontinuitas dari kebudayaan masa silam. Menurut STA, Indonesia jang ditjita-tjitakan oleh generasi baru bukan sambungan Mataram, bukan sambungan keradjaan Banten, bukan keradjaan Minangkabau atau Bandjarmasin. Kebudajaan Indonesia tiadalah mungkin sambungan kebudajaan Djawa, Melaju, Sunda, atau kebudajaan lainnya (Achdiat K Mihardja, Polemik Kebudajaan, 1954). Berbeda dengan Ki Hadjar yang mengusulkan untuk mengambil puncak-puncak kebudayaan daerah, baik lama ataupun baru, dan bersikap terbuka terhadap kebudayaan asing, STA meyakini bahwa kebudayaan Indonesia baru harus benar-benar bebas dari kebudayaan lama. Padahal, apabila kita melihat lebih jauh, silang pendapat ini melibatkan tokoh-tokoh yang modernis, mereka menerima ilmu pengetahuan modern dan mengadopsi apa yang mereka pahami sebagai kebudayaan Barat. Mereka juga menentang tradisi feodalisme dan menolak jika kebudayaan Indonesia baru harus sepenuhnya diambil dari kebudayaan feodal ataupun mentah-mentah dari kebudayaan rakyat (Media Kerja Budaya, edisi online). Tanpa demokrasi, yang terjadi adalah kemunduran dan kematian salah satu kebudayaan, atau penjajahan satu kebudayaan oleh kebudayaan lainnya. Ironisnya, cita-cita Ki Hadjar menciptakan kebudayaan Indonesia yang demokratis itu saat ini harus berhadapan dengan musuh yang dahulu dengan gigih dilawannya, yaitu kolonialisme yang mengambil bentuk baru: imperialisme ekonomi dan budaya. Kekhawatiran Ki Hadjar dahulu justru mendapatkan wujud konkretnya.

Proses embentukan Kebudayaan Nasional Indonesia: Identitas Nasional
dan Kesadaran Nasional

Di masa lalu, kebudayaan nasional digambarkan sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia. Namun selanjutnya, kebudayaan nasional Indonesia perlu diisi oleh nilai-nilai dan norma-norma nasional sebagai pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di antara seluruh rakyat Indonesia. Termasuk di dalamnya adalah nilai-nilai yang menjaga kedaulatan negara dan integritas teritorial yang menyiratkan kecintaan dan kebanggaan terhadap tanah air, serta kelestariannya, nilai-nilai tentang kebersamaan, salingmenghormati, saling mencintai dan saling menolong antar sesama warganegara, untuk bersama-sama menjaga kedaulatan dan martabatbangsa.
Pembentukan identitas dan karakter bangsa sebagai sarana bagi pembentukan pola pikir (mindset) dan sikap mental, memajukan adab dan kemampuan bangsa, merupakan tugas utama dari pembangunan kebudayaan nasional. Singkatnya, kebudayaan nasional adalah saranabagi kita untuk memberikan jawaban atas pertanyaan:. Siapa kita (apaidentitas kita) Akan kita jadikan seperti apa bangsa kita? Watak bangsa semacam apa yang kita inginkan? Bagaimana kita harus mengukir wujud masa depan bangsa dan tanah air kita??

Jawaban terhadap sederet pertanyaan di atas telah dilakukan dalam berbagai wacana mengenai pembangunan kebudayaan nasional dan pengembangan kebudayaan nasional. Namun strategi kebudayaan nasional untuk menjawab wacana tersebut di atas belum banyak dikemukakan dan
dirancang selama lebih dari setengah abad usia negara ini, termasuk dalam kongres-kongres kebudayaan yang lalu.Gagasan tentang kebudayaan nasional Indonesia yang menyangkut
kesadaran dan identitas sebagai satu bangsa sudah dirancang saatbangsa kita belum merdeka. Hampir dua dekade sesudah Boedi Oetomo,Perhimpunan Indonesia telah menanamkan kesadaran tentang identitas Indonesia dalam Manifesto Politiknya (1925), yang dikemukakan dalam tiga hakekat, yaitu: (1) kedaulatan rakyat, (2) kemandirian dan (3)persatuan Indonesia. Gagasan ini kemudian segera direspons dengan semangat tinggi oleh Sumpah Pemuda pada tahun 1928.

Di masa awal Indonesia merdeka, identitas nasional ditandai oleh bentuk fisik dan kebijakan umum bagi seluruh rakyat Indonesia (diantaranya adalah penghormatan terhadap Sang Saka Merah-Putih, lagukebangsaan Indonesia Raya, Bahasa Nasional, pembentukan TKR yang
kemudian menjadi TNI, PNS, sistem pendidikan nasional, sistem hukumnasional, sistem perekonomian nasional, sistem pemerintahan dan sistem birokrasi nasional.). Di pihak lain, kesadaran nasional dipupuk dengan menanamkan gagasan nasionalisme dan patriotisme.

Kesadaran nasional selanjutnya menjadi dasar dari keyakinan akan perlunya memelihara dan mengembangkan harga diri bangsa, harkat dan martabat bangsa sebagai perjuangan mencapai peradaban, sebagai upaya melepaskan bangsa dari subordinasi (ketergantungan, ketertundukan,
keterhinaan) terhadap bangsa asing atau kekuatan asing.
Secara internal manusia dan masyarakat memiliki intuisi dan aspirasi untuk mencapai kemajuan. Secara internal, pengaruh dari luar selalu
mendorong masyarakat, yang dinilai statis sekali pun, untuk bereaksi terhadap rangsangan-rangsangan dari lingkungannya. Rangsangan besar dari lingkungan pada saat ini datang dari media masa, melalui pemberitaan maupun pembentukan opini. Pengaruh internal dan
khususnya eksternal ini merupakan faktor strategis bagi terbentuknya suatu kebudayaan nasional. Sistem dan media komunikasi menjadi sarana strategis yang dapat diberi peran strategis pula untuk memupuk identitas nasional dan kesadaran nasional.

Bangsa Indonesia: Pluralistik dan Multikultural

Kita tidak dapat pula mengingkari sifat pluralistik bangsa kita sehingga perlu pula memberi tempat bagi berkembangnya kebudayaan sukubangsa dan kebudayaan agama yang dianut oleh warganegara Indonesia. Dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan sukubangsa dan kebudayaan agama, bersama-sama dengan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara, mewarnai perilaku dan kegiatan kita. Berbagai kebudayaan itu berseiringan, saling melengkapi dan saling mengisi,
tidak berdiri sendiri-sendiri, bahkan mampu untuk saling menyesuaikan (fleksibel) dalam percaturan hidup sehari-hari.

Dalam konteks itu pula maka ratusan suku-sukubangsa yang terdapat di Indonesia perlu dilihat sebagai aset negara berkat pemahaman akan lingkungan alamnya, tradisinya, serta potensi-potensi budaya yang dimilikinya, yang keseluruhannya perlu dapat didayagunakan bagi
pembangunan nasional. Di pihak lain, setiap sukubangsa juga memiliki hambatan budayanya masing-masing, yang berbeda antara sukubangsa yang satu dengan yang lainnya. Maka menjadi tugas negaralah untuk memahami, selanjutnya mengatasi hambatan-hambatan budaya masing-
masing sukubangsa, dan secara aktif memberi dorongan dan peluang bagi munculnya potensi-potensi budaya baru sebagai kekuatan bangsa.

Banyak wacana mengenai bangsa Indonesia mengacu kepada ciri pluralistik bangsa kita, serta mengenai pentingnya pemahaman tentang masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang multikultural. Intinya adalah menekankan pada pentingnya memberikan kesempatan bagi
berkembangnya masyarakat multikultural itu, yang masing-masing harus diakui haknya untuk mengembangkan dirinya melalui kebudayaan mereka di tanah asal leluhur mereka. Hal ini juga berarti bahwa masyarakat multikultural harus? memperoleh kesempatan yang baik untuk menjagadan mengembangkan kearifan budaya lokal mereka ke arah kualitas dan
pendayagunaan yang lebih baik.

Kelangsungan dan berkembangnya kebudayaan lokal perlu dijaga dan dihindarkan dari hambatan. Unsur-unsur budaya lokal yang bermanfaat bagi diri sendiri bahkan perlu dikembangkan lebih lanjut agar dapat menjadi bagian dari kebudayaan bangsa, memperkaya unsur-unsur kebudayaan nasional. Meskipun demikian, sebagai kaum profesional Indonesia, misi utama kita adalah mentransformasikan kenyataan multikultural sebagai aset dan sumber kekuatan bangsa, menjadikannya suatu sinergi nasional, memperkukuh gerak konvergensi,
keanekaragaman.

Oleh karena itu, walaupun masyarakat multikultural harus dihargai potensi dan haknya untuk mengembangkan diri sebagai pendukung kebudayaannya di atas tanah kelahiran leluhurnya, namun pada saat yang sama, mereka juga harus tetap diberi ruang dan kesempatan untuk
mampu melihat dirinya, serta dilihat oleh masyarakat lainnya yang sama-sama merupakan warganegara Indonesia, sebagai bagian dari bangsa Indonesia, dan tanah leluhurnya termasuk sebagai bagian dari tanah air Indonesia. Dengan demikian, membangun dirinya, membangun
tanah leluhurnya, berarti juga membangun bangsa dan tanah air tanpa merasakannya sebagai beban, namun karena ikatan kebersamaan dan saling bekerjasama.

Upaya Membangun Kebudayaan Nasional Indonesia: Penataan Pola Pikir

Kita perlu memahami kembali bahwa warga dari bangsa yang pluralistik ini adalah rakyat yang juga warganegara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Karena itu diperlukan adanya wawasan? dan pemahaman mengenai
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kita juga harus membuka diri untuk memahami Pancasila, sekaligusbersedia membedakan antara substansi ideal dan kemuliaannya sebagai dasar peradaban, dengan Pancasila yang pelaksanaannya sengaja dikemas dan absurd secara politis demi kepentingan memperoleh dan
mempertahankan kekuasaan, yang telah menyebabkan Pancasila dikambinghitamkan dan dibenci sebagai penyebab timbulnya kediktatoran. Sejak mundurnya Presiden Soeharto, di lingkungan
masyarakat awam dan profesional tak jarang terdengar pernyataan kejenuhan, kebencian atau alergi terhadap perkataan Pancasila. Sebaliknya kita harus memahami Pancasila yang lahir dari hasil pikiran para pendiri Republik Indonesia yang kemudian dirangkum oleh Bung Karno pada saat lahirnya pada tanggal 1 Juni 1945, untuk dijadikan Dasar Negara, sebagai jawaban atas pertanyaan Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat:Apa dasar negara kita nanti.

Strategi Budaya: Mutualisme dan Kerjasama Sinergis

Upaya untuk membentuk suatu mindset kebersamaan dan kerjasama sinergis bangsa Indonesia dan membangun rasa kekeluargaan (brotherhood, bukan kinship), perasaan saling memiliki (shared intrerest dan common property) perlu dikembangkan, baik yang berada di tingkat keluarga, ketetanggaan, masyarakat luas hingga ke tingkat negara. Demikian pula halnya, orientasi mutualisme dan kerjasamasinergis sebagai jiwa dalam UUD 1945 itu harus menjadi titik-tolak dan landasan bagi penyusunan program-program pembangunan nasional
secara luas.
Menurut hemat penulis, hal ini bukanlah sesuatu yang mustahil untuk dilaksanakan.